Rabu, 08 September 2010

fitra

Manusia adalah salah satu mahluk Allah SWT yang paling lengkap dan sempurna dari seluruh ciptaanNya. Diantara kesempurnaan penciptaannya manusia dianugerahi akal, yang dengannya ia mampu memilah nilai-nilai kehidupan sebagai jalan hidupnya. Bahkan dalam kesempatan lain atas kesempurnaannya itu manusia dipilih oleh Allah SWT untuk dapat melaksanakan amanahNya sebagai pelaksana aturan Allah SWT di muka bumi ini. Hal ini difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an pada surat Al-Baqarah[2]: 30.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Tugas yang Maha berat ini pun diberikan kepada manusia, kepercayaan yang sungguh besar dilekatkan pada manusia bukan atas mahluk selainnya. Bahkan untuk tugas ini Allah SWT memberikan kelebihan lain kepada manusia dengan diberikannya “Basthotan fil 'ilmi wal jism” (keluasan ilmu dan keperkasaan tubuh).

Jika di lihat dari kronologi proses penciptaan manusia, sewaktu manusia baru berumur 4 bulan 10 hari hidup di alam rahim, saat pertama Allah SWT memberikan ruh kepada manusia sehingga sang hidup pun hadir pada dirinya. Di awal kehidupan manusia ini Allah SWT mengambil komitmen atas manusia dengan bertanya pada manusia, “bukankah Aku (Allah) ini Rabb mu?” Lalu kemudian manusia menjawab “ya kami menyaksikan bahwa Engkau adalah Rabb kami” Al-Qur'an surat Al-a'raaf[7]: 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Dialog antara Allah SWT dengan manusia ini menunjukkan adanya sebuah keterikatan antara seorang mahluk dengan penciptanya, dan mengandung makna kesepakatan atas manusia untuk melaksanakan segala apa yang menjadi kehendak penciptanya, dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa manusia telah menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Secara tegas manusia siap melaksanakan pengabdian yang totalitas hanya kepada Allah SWT saja sebagai penciptanya tidak kepada selainNya. Jadi jelas kesempatan hidup yang diberikan kepada manusia hanyalah untuk melaksanakan pengabdian kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Dzariyat[51]: 56.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Untuk memudahkan tugas pengabdian ini, lalu kemudian Allah SWT menurunkan petunjuk pelaksanaan pengabdian bagi manusia berupa wahyu sebagai aturan hidupnya dari mulai Shuhuf-shuhuf hingga Zabur, Taurat, Injil dan dicukupkan serta disempurnakan dengan Al-Qur'an. Bersamaan dengan itu diberikannya juga Din al-Haqq (Islam) sebagai sebuah sistem hidup yang dibawa malalui para utusan-utusanNya dari mulai Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad SAW, bahkan secara estapet berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana yang di terangkan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-syura[42]: 13.

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Ketika keterpaduan antara manusia, wahyu (Al-Qur'an) sebagai aturan hidupnya dan Din al-Haqq (Islam) sebagai sistem hidup yang menyeluruh baginya, maka disinilah akan nampak bahwa manusia hidup sesuai dengan fitrah penciptaanNya. Karenanya adalah suatu keniscayaan bagi manusia untuk tetap mencurahkan segala daya dan kemampuannya dalam melaksanakan Al-Qur'an di Din al-Haqq (Islam) jika manusia ingin tetap utuh dalam fitrahnya sebagai manusia. Inilah yang di terangkan dalam Al-Qur'an pada surat al-Ruum[30]: 30.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa seorang manusia akan kembali kepada fitrahnya apabila ia melaksanakan segala apapun yang menjadi ketetapan Allah swt dalam kehidupannya. Sebab jika hal ini tidak dilakukan oleh manusia, maka akan rusaklah fitrah kemanusiaannya di sisi Allah swt. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an dalam surat al-A'raaf[7]: 179.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Semoga hal ini dapat menjadi sebuah perenungan yang mendalam bagi kita semua, sehingga kita dapat kembali kepada fitrah layaknya sebagai manusia...amiin..ya Rabb al-amiin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar