Abu Haromain
Tuhan akan mewariskan bumi ini bagi orang-orang yang tertindas, dilemahkan, dibodohi, disakiti, dikebiri, dicuci otaknya, yang terluka... (Adaptasi QS. 28:5)
Islam revivalis merupakan salah satu varian Islam dari sekian varian Islam yang sedang ngetren dewasa ini. Islam revivalis merupakan sebuah genre Islam yang mempunyai tujuan melakukan gerakan pemurnian Islam dari penyakit TBC (takhayul, bid'ah, churafat). Disamping itu, Islam revivalis muncul karena melihat realitas keterpurukan umat Islam di abad ke-18. Menurut mereka sebab utama keterpurukan tersebut dikarenakan umat Islam pada umumnya telah meninggalkan nilai-nilai sejati ajaran Islam. Maka dari itu, untuk membangkitkan semangat Islam, perlu dilakukan pembaruan (tajdid, revival) dan reformasi besar-besaran di tubuh umat Islam dengan kembali pada inti ajaran al-Qur'an dan as-sunnah.
Pembaruan dan revormasi menjadi tema yang sangat dominan dalam Islam sejak abad ke-18 ketika umat Islam merespon kekuatan-kekuatan internal dan eksternal yang mengancam agama dan tatanan sosial mereka. Islam digunakan secara efektif dalam membentuk organisasi-organisasi reformasi sosio-politik dan dalam gerakan-gerakan modernis Islam. Gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18 dan ke-19 menunjukkan kekuatan sebuah seruan kepada Islam untuk memberikan penalaran atas kemunduran umat Islam dan untuk memenuhi gerakan-gerakan yang bertekad melakukan reformasi sosial dan moral.
Disamping perbedaan-perbedaan mereka, gerakan-gerakan pra-modernis meninggalkan warisan bagi Islam modern dalam hal interpretasi ideologis mereka atas Islam dan dalam hal metode dan organisasi aktifis mereka. Islam terbukti sebagai kekuatan yang hebat untuk merespon kemerosotan internal maupun untuk mereaksi imperialisme Eropa. Kaum modernis menafsirkan kembali sumber-sumber Islam untuk mendapatkan jawaban-jawaban baru dan untuk mengasimilasi sebagian ide dan lembaga Barat. Modernisme Islam mencangkokkan sebuah sikap terhadap Islam menyangkut signifikansinya di masa lalu dan relevansinya di masa sekarang. Penekanannya pada Islam sebagai agama yang dinamis, progresif dan rasional menghasilkan rasa kebanggaan, jati diri, dan keyakinan bahwa Islam relevan dengan kehidupan modern.
Meski modernisme Islam tidak menghasilkan reinterpretasi Islam yang sistematis dan terpecah belah ke banyak arah, pandangan dan kosa kata modernisnya merasuk ke dalam masyarakat muslim dan memungkinkan generasi baru muslim untuk, dengan percaya diri, merangkul peradaban modern dengan kepercayaan bahwa Islam sesuai dan mampu beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangan modernitas. Namun, sebagian dari kaum muslim ini, kaum neo revivalis, yang tumbuh selama masa perjuangan kemerdekaan pasca perang dunia pertama, menolak semangat akomodasionis dari modernisme Islam. Mereka memadukan interpretasi Islam yang holistik dan aktifisme keorganisasian, dengan ajakannya untuk membentuk tatanan sosial yang didasarkan bukan pada akulturasi modernis tetapi pada keswasembadaan alternatif Islam. Transisi utama (politik, sosial, ekonomi, dan budaya), yang tercermin dari usaha untuk menghasilkan respon-respon Islam terhadap tuntutan-tuntutan modernitas yang baru, terus memikat banyak kaum muslim pada paroh kedua abad ke-20 seperti yang kita saksikan dalam kebangkitan Islam kontemporer.
Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, setidaknya ada tiga trend yang dominan. Pertama, Fundamentalistik-Konservatif, kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin silam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat manusia. Mereka dikenal sangat committed dengan aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam sendiri telah mencakup tatanana sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Garapan mereka adalah menghidupkan Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan kembali kepada sumber asli (al-Quran dan sunnah) dan menyerukan untuk mempraktikkan ajaran Islam sebagaimana yang dipraktikkan rasul dan khulafa al-rasyidin. Sunnah rasul harus dihidupkan dalam kehidupan modern dan itulah inti dari kebangkitan Islam. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan tersebut antara lain Sayyid Quthub, Muhammad Quthb, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Zainuddin Sardar, juga tokoh seperti Abu Bakar Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib di tanah air.
Kedua, Tradisionalistik-Salafi, kelompok pemikiran yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi kelompok-kelompok ini, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama' terdahulu, sehingga tugas kita sekarang hanya menyatakan kembali apa yang telah dikerjakan mereka, atau paling banter menganalogkan pada pendapat-pendapatnya. Namun demikian, berbeda dengan kaum fundamental yang sama sekali menolak medernitas dan membatasi hanya pada khulafa al-rasyidin yang empat, kelompok tradisionalis justru melebarkan tradisi sampai pada seluruh salaf al-shalih dan tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang dialami modernitas, sains dan teknologi, bagi mereka, tidak lebih dari pada masa kejayaan dahulu. Meski demikian, mereka masih mau 'mengadopsi' peradaban luar tapi dengan syarat semua itu harus diislamkan terlebih dahulu. Karena itu, garapan mereka -khususnya di kalangan sarjananya- adalah islamisasi segala aspek kehidupan. Mulai dari masalah etika sampai ilmu pengetahuan dan landasan epistemologinya yang akan diserap harus diislamkan agar seluruh gerak dan tindakan umat Islam adalah Islami. Kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikiran Sayyid Husain Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismail Faruqi.
Di tanah air, kecenderungan tradisionalis-salafis tersebut jelas dalam masyarakat pesantren. Turats (tradisi dengan segala aspeknya), di kalangan pesantren, tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang harus diikuti dan ditampilkan kembali dalam kehidupan modern, tetapi telah dianggap sebagai sesuatu yang sempurna, fixed dan tidak bisa dikritik ( sakral) seperti al-Quran, atau menurut istilah Arkoun telah terjadi proses taqdis al-afkar ad-diniyah (pensakralan pemikiran-pemikiran keagamaan).
Ketiga, Reformistik-Modernis, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekonstruksi warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberikan penafsiran baru. Menurut kelompok ini, umat Islam sesungguhnya telah mempunyai budaya dan tradisi (turats) yang bagus dan mapan. Namun, tradisi-tradisi tersebut harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyah min al-jadid) dengan kerangka modern prasyarat rasional agar tetap bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, kelompok ini berbeda dengan kalangan tradisional yang tetap menjaga dan melanggengkan tradisi masa lalu seperti apa adanya. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikir-pemikir seperti Hasan Hanafi, Ashghar Ali Engginer, Mohammad Arkoun dan Amina Wadud Muhsin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar